oleh Bayu Candra Winata
Mahasiswa Pascasarjana Manajemen Pembangunan Daerah IPB
@bayucandrawin
“Jika ada lebih banyak pemimpin muslim dapat
berpikir dan bertindak seperti Erdogan, berani melawan sikap bisu dunia, maka
dunia islam tidak akan dalam kondisi menyedihkan seperti sekarang ini..” (Ajjaz Zaka Sayed, Kolumnis Arab News dan Gulf News)
Lontaran kalimat Ajjaz Zaka Sayed
di atas agaknya menjadi kerisauan kita pada saat ini. Terlebih ketika kita
melihat bagaimana kondisi umat muslim di negara luar Indonesia. Lihatlah Afrika
tengah, Mesir, Suriah, ataupun negara-negara lain yang mengalami nasib tak jauh
berbeda. Kita hanya merasa prihatin dan berduka dengan kejadian yang
mengenaskan itu. Dan tak ada gunanya kita mengutuki nasib. Yang kita butuhkan
adalah hadirnya pemimpin muslim yang besar, yang memiliki “taring” bagaikan
singa, memiliki “mata” bagaikan elang, yang dia disegani oleh lawan dan
dicintai oleh kawan. Dia yang mampu mengahdirkan solusi atas segala persoalan
umat Islam dewasa ini.
Manusia besar itu bisa siapa saja, Kawan. Bisa kau, aku, ataupun
mereka. Negara ini,
Indonesia dengan jumlah umat muslim terbesar di dunia harusnya mampu menjadi “industri” untuk menciptakan
manusia-manusia besar itu. Terlebih lagi para pemudanya yang saat ini berada
pada masa produktif. Mereka harus belajar bagaimana menjadi besar untuk bangsa
yang besar ini. Dari dulunya Indonesia dan manusia Indonesia itu besar dibandingkan bangsa yang lain, jadi
jangan kita mengecilkan diri kita sendiri.
Kawan, kau lihatlah lagi sejarah
bangsa Indonesia, kau
akan temukan kebesaran manusianya. Sejarah merupakan biografi manusia-manusia
besar. Mempelajarinya agar kita menemukan sebuah pola yang kita bisa jadikan model untuk
menjadikan setiap kita dapat
menjadi manusia yang besar di negeri dengan jumlah umat muslim terbesar ini. Bukan untuk romantika
masa lalu, apalagi melankoli dramatis.
Kita pun tidak kekurangan manusia
besar dalam sejarah Islam sesungguhnya. Kita mengenal Abu Bakr, Umar bin
Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib dan yang lainnya dengan
kebesarannya masing-masing hingga
saat ini. Hanya karena
Islam mereka menjadi mulia dan menjadi
bahan kajian hingga saat ini. Apakah mereka bukan manusia? Mereka
manusia seperti kita, tapi mereka menyejarah, Kawan.
Saat ini Indonesia membutuhkan kita
semua, seluruh anak sah bangsa untuk membawa arah baru Indonesia, untuk memberikan kesejahteraan lahir
dan batin bangsanya. Sudah saatnya kita membentuk dan memunculkan diri menjadi
manusia muslim yang besar dengan cita rasa Indonesia untuk Indonesia dan dunia.
Hal ini harus menjadi bagian obsesi dari ruh zaman kita saat ini, karena Indonesia
membutuhkan nakhoda baru. Bukan
hanya satu orang, tapi seluruh anak bangsa, Kawan.
Ada beberapa hal yang perlu kita
lakukan untuk menciptakan
manusia seperti itu, terlepas dari konsep diri
sebagai muslim seutuhnya dan hal yang lainnya. Paling tidak, ada dua hal yang bisa menjadi bahan
pikiran kita bersama sebagai muslim dengan cita rasa Indonesia:
Cara Pandang Demokratis
Kita harus
memiliki cara pandang yang tidak antipati dengan pemikiran orang lain, apapun
jenis pemikirannya.
Tapi, kita harus
memiliki identitas diri yang jelas sebagai muslim di satu sisi, dan mampu
mengolah semua pemikiran sebagai suatu kekayaan intelektual yang harus dihormati dan tidak harus
untuk diikuti.
Hal ini kurang
lebih seperti yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW kepada orang di luar
Islam “Bagimu agamamu dan bagiku agamaku”. Hal ini
menempatkan kita pada posisi yang terang dengan prinsip di hadapan orang lain.
Namun, kita juga mampu
menerima cara pandang orang lain yang tidak bertentangan dengan Aqidah
Islamiyah, sehingga
kita mampu membudayakan sikap saling menghargai di antara orang yang berbeda
dengan diri kita.
Berkehendak
untuk Bersama dengan Orang Lain di luar Kita
Hal ini harus
ditumbuhkan di kalangan setiap individu muslim, terlebih lagi kepada kita
sebagai kader dakwah. Bekerja
sama dengan orang lain dalam hal bermuamalah merupakan satu kewajaran yang
tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan sehari-hari. Terlebih lagi, ketika kita ingin mengelola
Indonesia yang besar ini, kita membutukhan tangan-tangan seluruh anak bangsa
untuk bekerja bersama kita, termasuk
non-muslim, selama mereka memiliki semangat yang sama untuk membawa kebaikan
bagi bangsa Indonesia.
Kita bisa
belajar dari sejarah Nabi SAW ketika pertama kali menjadikan Madinah sebagai
pusat dari Islam saat itu.
Bukankah Sang Nabi juga bekerja sama membangun koalisi dengan golongan penduduk
lokal di luar kaum muslimin?
Semangat ini ada baiknya kita
usahakan untuk kita terapkan dalam diri kita, agar kita mampu mewakili seluruh
kepentingan golongan yang ada pada bangsa ini. Mereka hanya akan percaya kepada kita,
kalau ada bukti yang nyata. Semua itu melalui kerja-kerja kita, dan semangat perubahan untuk
menuju ke sana, bukan
hanya sekedar kata yang kosong tanpa realita.
“Kata-kata
takkan pernah menyentuh hati dan menggerakkan jiwa manusia, kecuali kata-kata
yang ditulis dengan tinta darah. Kata-kata seperti inilah yang akan selalu
hidup dalam sanubari manusia.”
Post a comment