“Dengan semangat Hari Kartini, mari kita perjuangkan
Emansipasi Wanita, agar kaum wanita bisa setara dengan laki-laki” begitu kira-kira himbauan
sebagian orang yang mengaku aktivis perempuan, aktivis pembela hak-hak
perempuan. Konon begitu biasa mereka disebut. Tapi benarkah demikian yang
diperjuangkan RA. Kartini?
Mari kita
kembali membuka-buka lembar sejarah, membaca surat-surat Kartini ke teman-temannya di Eropa. Saya rasa,
jika beliau diberi Allah umur panjang dan menyaksikan bagaimana kaum perempuan
sekarang menyalahgunakan emansipasi atas namanya, beliau pasti akan menangis.
Menangis
karena banyak perempuan yang atas nama emansipasi justru mendegradasi kemuliaan
dirinya. Menangis karena peringatan Hari Kartini dijadikan ajang pamer baju
kebaya, dan berbagai lomba yang justru jauh dari esensi Minazh Zhulumaati ilan Nuur -Door
Duisternis Tot Licht- Dari Kegelapan Menuju Cahaya. Kita semua
mengenal dengan istilah dengan Habis Gelap Terbitlah Terang.
Orang-orang yang gembar-gembor emansipasi dan
menisbatkannya pada Kartini, sepertinya luput memperhatikan apa yang Kartini perjuangkan
untuk kaum perempuan negeri ini.
Kartini dan Pendidikan Perempuan
Mari kita
perhatikan dengan seksama tulisan Kartini ini...
“Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan
pendidikan anak perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak
perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena
kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita
lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke
dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama.” [Surat Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya,
4 Oktober 1902].
Tidakkah kita
bisa melihat bahwa Kartini menginginkan kaum perempuan berpendidikan agar bisa
menjadi IBU, PENDIDIK manusia yang pertama-tama. Yaa... Peran kaum perempuan
terhadap pendidikan anak-anak sangat penting. Kartini menyadari hal itu.
Apa yang
diperjuangkan Kartini bukanlah
emansipasi yg menuntut kesetaraan gender, menuntut persamaan hak dengan
laki-laki. Bukan… Bukan itu yang diinginkan Kartini.
Kartini dan Islam (Dari Kegelapan Menuju Cahaya)
Tidak banyak
diketahui bahwa menjelang akhir hayatnya, Allah memberikan hidayah kepada
Kartini untuk mempelajari Agama Islam secara mendalam.
Memang, di
masa kecil hingga remaja, Kartini kurang dekat dengan ajaran Islam. Pengalaman
tidak menyenangkan pernah dialami Kartini. Guru mengajinya memarahi Kartini
ketika bertanya makna ayat-ayat Quran yang diperintahkan kepadanya untuk dibaca
dan dihafal. Dan sejak saat itu, timbul penolakan pada diri Kartini. Hal
tersebut terungkap dalam surat-suratnya berikut ini :
"Mengenai agamaku Islam, Stella, aku harus
menceritakan apa? Agama Islam melarang umatnya mendiskusikannya dengan umat
agama lain. Lagi pula sebenarnya agamaku karena nenek moyangku Islam. Bagaimana
aku dapat mencintai agamaku, kalau aku tidak mengerti, tidak boleh memahaminya?
Al-Quran terlalu suci, tidak boleh diterjemahkan kedalam bahasa apa pun. Di
sini tidak ada orang yang mengerti bahasa Arab. Di sini orang diajar membaca
Al-Quran tetapi tidak mengerti apa yang dibacanya. Kupikir, pekerjaan orang
gilakah, orang diajar membaca tapi tidak diajar makna yang dibacanya itu. Sama
saja halnya seperti engkau mengajarkan aku buku bahasa Inggris, aku harus hafal
kata demi kata, tetapi tidak satu patah kata pun yang kau jelaskan kepadaku apa
artinya. Tidak jadi orang sholeh pun tidak apa-apa, asalkan jadi orang yang baik
hati, bukankah begitu Stella?" [ Surat Kartini kepada Stella, 6 November 1899]
"Dan waktu itu aku tidak mau lagi melakukan
hal-hal yang tidak tahu apa perlunya dan apa manfaatnya. Aku tidak mau lagi
membaca Al-Quran, belajar menghafal perumpamaan-perumpamaan dengan bahasa asing
yang tidak aku mengerti artinya, dan jangan-jangan guru-guruku pun tidak
mengerti artinya. Katakanlah kepadaku apa artinya, nanti aku akan mempelajari
apa saja. Aku berdosa, kitab yang mulia itu terlalu suci sehingga kami tidak
boleh mengerti apa artinya. [ Surat Kartini kepada E.E. Abendanon, 15 Agustus 1902]
Lalu kapankah
Kartini mulai mempelajari Islam (Quran) dengan serius?
Taqdir Allah
kemudian mempertemukan Kartini dengan Kyai Haji Mohammad Sholeh bin Umar –yang
kemudian terkenal dengan sebutan Kyai
Sholeh Darat – karena beliau berasal dari Darat, Semarang. Dalam sebuah
kesempatan, ketika Kartini mengunjungi pamannya Pangeran Ario Hadiningrat,
Bupati Demak pada waktu itu, Kartini mengikuti pengajian keluarga yang dibawakan
oleh Kyai Sholeh Darat, yang memang sering memberikan pengajian di daerah
pesisir utara. Setelah selesai acara pengajian, Kartini mendesak pamannya agar
bersedia menemani dia untuk menemui Kyai Sholeh Darat.
Dialog antara
Kartini dan Kyai Sholeh Darat tersebut kemudian ditulis oleh Nyonya Fadhila
Sholeh, cucu Kyai Sholeh Darat berikut ini:
"Kyai, perkenankanlah saya menanyakan,
bagaimana hukumnya apabila seorang yang berilmu, namun menyembunyikan
ilmunya?"
Tertegun Kyai
Sholeh Darat mendengar pertanyaan Kartini yang diajukan secara diplomatis itu.
"Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian?". Kyai Sholeh Darat balik
bertanya, sambil berpikir kalau saja apa yang dimaksud oleh pertanyaan Kartini
pernah terlintas dalam pikirannya.
"Kyai, selama hidupku baru kali inilah aku
sempat mengerti makna dan arti surat pertama, dan induk Al-Quran yang isinya
begitu indah menggetarkan sanubariku. Maka bukan buatan rasa syukur hati aku
kepada Allah, namun aku heran tak habis-habisnya, mengapa selama ini para ulama
kita melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al-Quran dalam bahasa Jawa.
Bukankah Al-Quran itu justru kitab pimpinan hidup bahagia dan sejahtera bagi
manusia?"
Pertanyaan
yang tak diduga oleh Kyai Sholeh itu menggugah semangatnya untuk membuat
terjemahan Quran kedalam bahasa Jawa. Usaha menterjemahkan Quran ke dalam
bahasa Jawa yang ditekuni Kyai Sholeh berhasil menterjemahkan juz 1 sampai
dengan juz 13, surat Al-fatihah hingga surat Ibrahim. Terjemah ini pula yang
kemudian dihadiahkan pada hari pernikahan Kartini. Tak lama setelah itu, Kyai
Sholeh meninggal dunia, meninggalkan ‘proyek’ terjemahan Quran ke dalam bahasa
Jawa, atas inspirasi dari pertanyaan Kartini.
Lalu darimanakah kiranya kata-kata “Habis Gelap
Terbitlah Terang”?
Jika membaca
surat-surat Kartini kepada teman-temannya di Eropa, dalam beberapa kesempatan
Kartini sering mengungkapkan kalimat “Dari Gelap Kepada Cahaya”, yang kemudian
dijadikan judul kumpulan tulisan Kartini dalam bahasa Belanda "Door Duisternis Tot Licht".
Ini semata karena seringnya Kartini mengulang-ulang kalimat itu dalam
surat-suratnya yang ditulis dalam bahasa Belanda. Mr. Abendanon yang
mengumpulkan tulisan-tulisan Kartini, dan menjadikan Door Duisternis Tot Licht
sebagai judul tidak mengetahui bahwa kalimat tersebut berasal dari penggalan
ayat Quran, yang terdapat dalam Surat Al-Baqarah ayat 257, “Min
azh-zhulumaati ilaa an-nuur”.
Belakangan,
diterjemahkan oleh salah seorang sastrawan Indonesia Armijn Pane dengan istilah
"Habis Gelap Terbitlah Terang".
Maka menjadi
jelaslah kiranya bahwa di akhir masa hidupnya Kartini adalah perempuan yang
tha'at kepada Allah, berbakti pada orang tua dan berkontribusi utk kebaikan
negeri ini.
Kartini
bukanlah sosok perempuan seperti yang digembar-gemborkan aktivis emansipasi
perempuan yang menjual harga diri perempuan dengan harga yang murah. Bahkan
sangat murah.
Bahkan,
Kartini, setelah mempelajari Islam dengan sungguh-sungguh, telah berani
menentang Kristenisasi pada waktu itu. Mari kita lihat surat Kartini berikut
ini:
"Bagaimana pendapatmu tentang Zending, jika
bermaksud berbuat baik kepada rakyat Jawa semata-mata atas dasar cinta kasih,
bukan dalam rangka kristenisasi? .... Bagi orang Islam, melepaskan keyakinan
sendiri untuk memeluk agama lain, merupakan dosa yang sebesar-besarnya. Pendek
kata, boleh melakukan Zending, tetapi jangan mengkristenkan orang. Mungkinkah
itu dilakukan?" [ Surat Kartini kepada E.E . Abendanon, 31 Januari 1903]
Itulah Kartini
yang sesungguhnya
Putri sejati
Putri
Indonesia
Pendekar
bangsa
Pendekar kaum
perempuan
Putri yang
mulia
Besar cita dan
cintanya untuk Indonesia
Balikpapan, 22
April 2015
Wahid Irsyadi Ali
Post a Comment